TUTUPING GUNUNG ING GUNUNG SEWU GUNUNGKIDUL ERA PECAHNYA MATARAM ISLAM

Gunung Tutup, Ponjong

Dening : Haryo Dandun Kusumoyudo

Keturunan trah Narokosuran/ R.Ng. Mangunkusumo II Bomo Norokosuro

KPH TIRTOKUSUMO/ PANGERAN PANCURAN/ MANGUNKUSUMA I 

RM. Ngali lahir dari istri pertamanya Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkunegoro yakni Ray. Rogo Asmoro (Nyi Sonowati) dari Madura. Beliau RM. Ngali diperkirakan lahir tahun 1717 seumuran dengan Pangeran Mangkubumi (HB I). Sewaktu masih kecil berada di Kraton Kartasura, meskipun pada saat itu keadaan Kraton Kartasura mengalami beberapa goncangan pemberontakan era Amangkurat IV suasana yang tak kondusif ia tetap belajar banyak hal seperti kebanyakan anak dari putra mahkota lainnya seperti belajar ilmu pengetahuan, seni, budaya, ajaran-ajaran Islam, ajaran-ajaran kaweruh budi pekerti leluhur dll. Setelah dewasa RM. Ngali kemudian diberi nama Pangeran Tirtokusumo dan menikah dengan Ray. Tirtokusumo (Roro Srimpi) ing Pancuran merupakan darah Banten dari Ratu Mas Banten.

Kemudian saat ayahnya terganjal masalah karena ikut pemberontakan dengan pamanya Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya hingga ditangkap oleh kakeknya sendiri yakni Amangkurat IV tahun 1723, pada tahun 1740 terganjal masalah lagi dimana difitnah oleh Patih Danurejo kemudian dibuang ke Sri Lanka hanya selang beberapa waktu dipindah Ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. KGPH Mangkunegoro saat dibuang mengajak sebagian selirnya dan beberapa anaknya naik kapal menuju ke Sri Lanka lantas meninggalkan istri pertamanya Ray. Rogo Asmoro yang kala itu sedang menderita sakit. Pangeran Tirtokusumo lantas merawat Ibunya bersama dengan istrinya dan beberapa pengikutnya. Berbeda nasib dengan adiknya RM. Said (Pangeran Suryokusumo/Pangeran Sambernyowo) dimana ketika ayahnya dibuang dia masih bayi dan tinggal di Kraton Kartasura bersama ibunya istri keduanya KGPH Mangkunegoro yakni Raj. Ayu Wulan dan Eyang Dalem Sumarsana. Pangeran Tirtokusumo mempunyai anak 4, yang tiga perempuan semua yang paling tua laki-laki bernama RM. Sabar (Mangunkusumo Bomo Norokosuro), yang kelak membantu pamannya RM. Said (Pangeran Sambernyowo) berjuang bersama melawan penjajah VOC.

Sebelum menjadi istri Tirtokusumo, Roro Srimpi (Ray. Tirtokusumo ing Pancuran)  ialah seorang penari Srimpi yang cantik rupawan di Kraton Kartasura yang menjadi rebutan bagi beberapa kalangan Pangeran dan Sentana di Kraton Kartasura. Pangeran Tirtokusumo bersama Ray. Tirtokusumo mengajarkan tari joged Mataram di Kraton Kartasura. Setelah peristiwa adanya fitnah serta menjadikan hukuman pembuangan bagi ayahandanya dan keadaan Kraton Kartasura mengalami akhir keruntuhan, Tirtokusumo berada di Pancuran bersama keluarga dan ibundanya sewaktu Ray. Rogo Asmoro mulai sakit-sakitan Tirtokusumo lantas mengantarkan pulang menuju ke Kraton Kartasura dengan perahu kecil bersama istrinya dan pengikutnya melalui sungai, namun karena sakitnya makin parah dan mulai kendo semangatnya mereka berhenti memilih tempat peristirahatan dimana sekarang dinamakan Dusun Ngendo, Banyudono, Boyolali. Di Sendang Pancuran, daerah Banyudono, Tirtokusumo melakukan laku tapa brata mengharap pertolongan dimana Ibunya sedang sakit parah dengan sembah sujud kepada Sang Hyang Widi, oleh karena itu sendang tersebut juga disebut Sendang Pitulungan. Beberapa tahun kemudian sang Ibu meninggal dan dimakamkan di Astana Ngendo, milik Mangkunegaran. Tirtokusumo disuruh Eyang Dalem Sumarsana untuk mendampingi serta menyusun strategi bersama tokoh-tokoh yang berada di Ngawen yang nantinya beliau membuang gelar kebangsawaannya dengan sesinglon nama Mangunkusumo karena sudah cukup mampu dalam beberapa ilmu pengetahuan. Mangunkusumo akhirnya menjadi salah satu benteng di wilayah sektor paling utara di Gunungkidul di Tancep. Setelah juga belajar di Ngawen terasa cukup dengan para tokoh di Ngawen, kemudian ia memiliki tongkat kayu jati yang kecil dari cerita yang beredar kayu tersebut lantas ditancapkan di sebuah batu besar sehingga memancarkan air dari batu dimana air Pancuran di bukit tersebut dipergunakan oleh warga di Dusun Tancep, Ngawen sampai sekarang. Ki Mangunkusumo mulai mengajarkan ajaran-ajaran yang dikuasai beliau baik pengetahuan umum, seni, agama serta ajaran budi pekerti dari para leluhur baik ke khalayak umum dan Kraton. Sehingga Ki Mangunkusumo di masa tuanya bersama seorang istri tercinta Roro Srimpi dan beberapa cantriknya salah satunya Ki Poncowono dan konon juga seperti Mbah Duwur menetap di daerah Tancep dan mereka dimakamkan di daerah Dusun Sumberan, Tancep, Ngawen.

GUNUNG TUTUP

R.M. Sabar (Mangunkusumo II Bomo Narokosuro) anak sulung dari Pangeran Tirtokusumo saat ditahan di Pancuran kira-kira pada saat sudah berumur 18 tahun dan sudah mempunyai anak yakni RM. Sabar seumuran dengan RM. Said atau nantinya terkenal dengan nama Pangeran Sambernyowo  yang tinggal di Kraton Kartasura  kelak berjuang bersama memperebutkan hak waris tahta Mataram bagi keluarganya dan utamanya mengenyahkan para penjajah yang sudah amat mempengaruhi ajaran perilaku buruk dan memecah belah masyarakat yang ada di Bumi Jawa khususnya Bumi Mataram. Eyang Dalem Sumarsana yang telah mengenyam pahit getirnya keadaaan di Kraton Kartasura dalam bayang-bayang VOC yang kuat, selalu memberikan dukungan yang nyata serta menanamkan jiwa yang merdeka kepada para cucu dan buyutnya yang tinggal di Kraton Kartasura yakni Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo), RM. Sabar (Mangunkusumo Bomo Narokosuro) dan RM. Ambiya. Mereka bertiga selalu mendapatkan perlakuan yang cukup berbeda dengan bangsawan lainnya, cenderung tersisih dengan dijadikan Mantri Gandek di lingkungan Kraton. Oleh karenanya, ketiga saudara ini masih sangat kecil suka bermain dan berkumpul dengan para abdi dalem Kraton Kartasura hingga pada titiknya keluar dari lingkungan Kraton Kartasura pada tahun Jawa 1666 AJ dengan sengkala : Rasa Retu Ngoyak Jagad.

Mereka bertiga dan para pengikutnya salah satunya yang bernama R. Sutawijaya III (Ronggo Joyo Panambang) yakni keturunan dari Patih Danurejo serasa senasib dengan keluarganya KGPH. Mangkunegoro yang kemudian merasa sama-sama keluarganya dibuang, akhirnya mengikuti langkah Pangeran Sambernyowo.

Selain karena untuk mengamankan keluarga Aryo Mangkunegoro, mereka diungsikan di Ngawen sewaktu Raden Mas Said berumur 7 tahun di tempat tanah lungguhnya KGPH. Mangkunegoro dengan pemberian 50 Jung untuk Raden Mas Said, 25 Jung untuk RM.Sabar dan RM. Ambiya 25 Jung. Disana dititipkan oleh Eyang Carik (Ki Ageng Caraka) sahabat Eyang Dalem Sumarsana. Tak lain juga bagian dari kecerdikan serta hebatnya salah satu taktik yang dimiliki Eyang Dalem sehingga di Ngawen ini mereka dapat belajar tentang banyak hal utamanya perihal ajaran hidup leluhur serta keprajuritan sehingga nantinya membentuk pasukan Bregadha Kawandoso Joyo-Alap Alap Sambernyowo di Gunung Wijil dibawah besutan dari R.Ng. Djoyo Wikrama salah satu putra Ki Ageng Caraka, yang nantinya sebagai Manggoloyudo Senopatinya pasukan Bregodo Kawandoso Joyo dan Alap Alap Sambernyowo. Beberapa tahun Raden Mas. Said, RM. Sabar dan beberapa pengikutnya termasuk R. Sutawijaya III digembleng supaya bisa melakukan taktik Jejemblungan, Weweludan, serta Dhedemitan kalau dilain waktu juga diajari banyak kaweruh ajaran seperti Tri Dharma, Aji Jaya Kawijayan hingga deklarasi Ti Ji Ti Beh (Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh) pada tahun 1740 di Gunung Wijil, Ngawen. Sehingga nantinya mampu dalam keprawiraan ketika peperangan meletus manjadi pasukan Alap-Alap yang siap menghadapi penjajah. Salah satu untuk memperkuat kesatuan ini dengan pernikahannya Raden Mas Said yang ketika sudah berumur 14 tahun menikah dengan  putrinya Ki Ageng Caraka Roro Dewi Pinesthi yang melahirkan RM. Poncosadewo pada tahun 1739, sedangkan keponakannya yang seumuran yakni RM. Sabar menikah dengan putri dari Demang Ngawen yakni Ki Poncosemono.

Mereka dapat dukungan penuh oleh masyarakat Ngawen sekitarnya dikarenakan ada hubungan darah pernikahan, selain hal tersebut juga dapat dukungan dari beberapa elite-elite trah bangsawan baik trah Majapahit, Pengging, Pajang ataupun Mataram dimana saat itu di beberapa wilayah, mereka mengerti kalau keluarga KGPH Mangkunegoro yang seharusnya menjadi penerus Amangkurat Jawi. Mereka berdua juga melakukan ngangsu kaweruh di Batur Agung Gunung Gambar petilasannya Ki Gading Mas dan Ki Onggoloco. Kemudian Raden Mas Said dapat ilham strategi perang dan tata negara   setelah melakukan napak tilas ngelmu dan tapa brata di Batur Agung, Gunung Gambar. Setelah mengalami berbagai macam peperangan yang dimulai dari membantu Sunan Kuning dalam pergerakan Geger Pecinan pada tahun 1740 dipimpin sendiri oleh Pangeran Sambernyowo kemudian beberapa tahun menyerang Kartasura, lantas PB II memerintahkan dan membuat sayembara apabila ada yang bisa menangkap Pangeran Sambernyowo akan dihadiahi tanah Sukowati (Sragen), kemudian Pangeran Mangkubumi seorang yang juga laku tapa brata dan pandai kaprawiran ikut memerangi Pangeran Sambernyowo karena menginginkan tanah Sukowati, setelah berhasil menangkap yang kemudian harinya ternyata bukan Raden Mas Said namun salah seorang pengikutnya yang seolah itu dibuat mirip dengan Raden Mas Said. Kemudian PB II mangkir dan tidak memenuhi janjinya hanya memberikan beberapa jung di daerah Sukowati. Kekecewaan menyelimuti hati Pangeran Mangkubumi, lantas ia bergabung dengan Laskar Bregodo Kawandoso Joyo-Alap Alap Sambernyowo sampai tahun 1752 mengalami perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyowo. Di tahun 1755 terjadilah perjanjian Giyanti dimana Mangkubumi dibantu oleh VOC mendapatkan kekuasaan dan tanah yang sekarang kita kenal Kasultanan Yogyakarta. Sambernyowo kecewa dengan pamannya sehingga dalam 2 tahun terjadi pertempuran sengit antara Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Mangkubumi hingga terjadilah perjanjian Salatiga dan terbaginya Mataram menjadi 3. Selama 16 tahun berperang akhirnya Raden Mas Said diangkat menjadi Adipati Pathi Mangkunegaran dengan syarat tidak melakukan penyerangan lagi dan pasukan Bregodho Kawandoso Joyo tidak boleh masuk Kadipaten Praja Mangkunegaran.

Namun dalam perjanjian tersebut munculah adanya kekecewaan dari pasukan Alap Alap sehingga secara ideologi Ti Ji Ti Beh tetap melakukan penyerangan terhadap penjajah di beberapa tempat termasuk Gunungkidul yang nantinya sifat kandel melawan penjajah ini dikomandoi oleh  Mangunkusumo II/ Bomo Norokosuro selaku Adipati Kadipaten Pathi Ponjong. RM. Sabar atau Mangunkusumo Bomo Norokosuro kepemerintahannya di bawah Mangkunegaran Surakarta menjadi Bupati Pathi di wilayah barat Pacitan, Eramoko, Wonogiri, Gunungkidul sampai ke wilayah Patuk, Bunder barat Sungai Oya kemudian wilayah Kadipaten Sumingkar dimana masuk pangereh praja Kasultanan Yogyakarta. Karena kekecewaan tersebut menghasilkan pulut-pulut atau getah pada nangka yang manis rasanya akhinya dibabat dibersihkan dengan Babad Alas Nongko Doyong.

Selama kisah babad alas nangka doyong, wilayah Kadipaten Pathi sering alami keterpurukan dan keterpojokannya dikarenakan pihak Kasultanan Yogyakarta yang menyuruh untuk operasi Babad Alas Nongko Doyong dengan sayembara. Sewaktu itu awal mula Demang Wono Prawiro dari Piyaman ini yang menerima mandat dari Kasultanan Yogyakarta. Mereka melaksanakan penyerangan kepada tokoh-tokoh kuat di beberapa tempat yang diyakini masih mempunyai misi menghapus segala bentuk penjajah di Bumi Jawa. Meskipun jago dari Gunungkidul selalu menang tapi pada era Bupati Poncodirjo harus mengalami kekalahan karena  Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran sendiri makin condong dengan VOC dan pemerintahan Belanda. Sebagian masyarakat Gunungkidul yang masih kontra dengan pihak penjajah khususnya wilayah Gunungkidul yang masih banyak keturunan dari Majapahit, Pengging, Pajang tak surut padam api yang menggelora melawan bangsa asing sampai pada tahun 1795an VOC pun alami kebangkrutan dimana juga bebarengan dengan pecahnya situasi geopolitik dunia pada saat itu. Di era pemerintahan Mangunkusumo III sekitar tahun 1790 yang menggantikan ayahandanya Mangunkusumo Bomo Norokosuro dimana tidak lama kemudian meninggal saat pertempuran ke Surakarta sehingga meninggalkan 2 istri dan seorang anak dimana akhirnya kedua istrinya dinikahi oleh Panji Harjadipura anak pertama dari Mangunkusumo Bomo Norokosuro. Sekitar tahun 1777 Mangunkusumo Bomo Norokosuro menikahkan satu-satunya putrinya yakni Roro Munting dengan Ki Poncosadewo dari Ngawen yang merupakan anak dari Pangeran Sambernyowo dengan Roro Dewi Pinesthi. Ki Poncosadewo merupakan tokoh pejuang melawan VOC salah satunya bersama Damang Poncorejoso yang waktu itu menjadi Demang Ngawen putra dari Mangunkusumo Bomo Norokosuro. Ki Poncosadewo dan Roro Munting akhirnya melahirkan RM. Poncodirjo sekitar tahun 1780 dari darah yang kuat inilah kemudian beliau pada tahun 1795 sebelum Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I wafat, diperkirakan beliau sempat melantik calon kuat yang digadang yakni RM. Poncodirjo menjadi Bupati Pathi Ponjong. menjadi Bupati Gunungkidul era terakhir dibawah Kasunanan Surakarta dan sekaligus juga yang pertama di era Kasultanan Yogyakarta setelah perjanjian Klaten tahun 1830 M dan wilayah Gunungkidul masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta kecuali daerah Ngawen. Meskipun sebelumnya RM. Poncodirjo dan tokoh yang lain juga melawan para penjajah VOC bersama kroninya juga kerap kali menang namun seiring berjalan waktu karena terdesaknya situasi dan kondisi hingga titik penghabisan sampai ke daerah Bleberan, Playen, Ngawen sampai ke Ponjong oleh karenanya kepemerintahan Gunungkidul yang bermula di Kadipaten Pathi Ponjong pada akhirnya RM.Poncodirjo mau menerima tombak dan songsong sebagai simbol kuasa dan pengayom Bupati pangreh Kasultanan Yogyakarta di era Sultan Hamengkubuwono V setelah perjanjian Klaten tahun 1830 M serta mau digeser lebih ketengah di Wonosari oleh R.P. Harjodipuro anak dari Mangunkusumo Bomo Norokosuro atau paman dari RM. Poncodirjo sendiri pada tahun 1831 M. Sekian cerita dari Gunung Tutup yang menjadi tutuping gunung atau tutupnya cerita sejarah dari tokoh-tokoh besar di era pecahnya Mataram Islam.

Hal ini tentunya hanya menjadi cecolok atau bahan yang mungkin masih sangat subyektif dan masih jauh dari kata sempurna. Cerita ini disusun berdasar dari jejak telusur, literasi, cerita tutur dari para tokoh yang memiliki kaitan dengan darah leluhur di Ponjong dan Ngawen khususnya dan beberapa wilayah di Gunungkidul. Semoga hal ini dapat menjadi pemantik dan penggugah untuk mencari kebenaran dari apa yang selama ini ditutup. Sehingga harapannya suatu saat nanti dapat terurai setelah penemuan-penemuan selanjutnya sehingga dapat tercipta cerita sejarah yang lebih mendekati kebenaran dan menjadi kaca benggala kita semua sebagai anak turunnya.

Terimakasih

Salam Rahayu.